POLEMIK BANTUAN SISWA MISKIN
Jum’at malam
sesampainya di rumah, anak ke-dua saya berkata,
“Buk, besok jam delapan
ada undangan rapat di sekolah.”
“Rapat apa, Han?”
“Rapat BSM.”
“Bantuan Siswa Miskin?
Ibuk nggak mau dateng, ah. Kita kan bukan orang yang berhak.”
“Aku tadi ditanya ibu
guru: Mau dapet BSM, nggak? Aku sudah bilang nggak mau, tapi tetep dikasih
undangan.”
Akhirnya saya buka
undangan tersebut, ternyata isinya undangan sosialisasi BSM. Well, kalo cuma sosialisasi sih dateng
aja nggak pa-pa, pikir saya.
Keesokan harinya pukul
07.50 saya sudah hadir di sekolah. Berhubung datang lebih awal, saya
berkesempatan melihat para wali murid yang datang belakangan. Ada yang berjalan
kaki, naik sepeda, dan motor. Ada yang terlihat benar-benar miskin, ada yang
tidak.
Setelah pembukaan,
akhirnya Ibu Kepsek menjelaskan bahwa di sekolah anak saya tersebut terdapat 95
orang siswa yang mendapat BSM. Pengajuannya sendiri sudah dilakukan 2 tahun
sebelumnya, namun baru sekarang diacc.
Menurut Ibu Kepsek, dari pengalaman yang telah lalu, ada beberapa wali murid
yang protes karena tidak mendapat BSM padahal mereka merasa berhak. Akhirnya Kepsek
yang menjabat sebelumnya berinisiatif mendaftarkan semua murid untuk
mendapatkan BSM. Nah, di sinilah persoalan mulai muncul.
Dari seluruh siswa yang
disetujui untuk mendapat BSM, ternyata tidak semuanya miskin. Sedangkan siswa
yang benar-benar miskin tidak mendapatkan bantuan tersebut. Saya tidak tahu
sistem yang dipakai dalam pemberian BSM. Mungkin dipilih secara acak dan disesuaikan
dengan pagu per sekolah. Akhirnya Ibu Kepsek menawarkan solusi supaya wali
murid yang mendapat BSM memberikan sumbangan suka rela untuk diserahkan kepada
wali murid yang tidak mendapat jatah.
Melihat beberapa wali
murid yang menurut saya tidak terlihat miskin berdiskusi tentang jumlah yang
akan disumbangkan membuat saya merasa miris. Saya sendiri akan mengembalikan
BSM itu 100% ke pihak sekolah, supaya bisa diserahkan kepada siswa yang memang
benar-benar membutuhkan. Saya tidak mau menerima bantuan tersebut, karena
dengan demikian saya memiskinkan diri saya sendiri. Sedangkan definisi miskin
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online adalah yang seperti yang
tertera pada alamat URL http://kbbi.web.id/miskin, yaitu ‘tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat
rendah).’ Dalam Islam pun miskin didefinisikan sebagai orang yang tidak
berharta.
Akhirnya saya mengusulkan kepada pihak sekolah agar jika akan mengajukan
BSM, sebelumnya benar-benar disurvey keadaan siswa yang bersangkutan. Jika
pihak sekolah tidak bisa mensurvey, mereka bisa mengirim surat edaran mengenai
kesediaan wali murid untuk didaftarkan sebagai penerima BSM. Walaupun pilihan
ke-dua ini rawan dimanfaatkan oleh wali murid tidak miskin yang oportunis,
namun setidaknya sekolah tidak gegabah dengan mendaftarkan semua siswanya.
Akhirnya Ibu Kepsek berjanji untuk melakukan survey jika suatu saat akan
mengajukan BSM lagi.
Semua bantuan yang diberikan oleh Pemerintah memang tidak mudah
diimplementasikan, dalam arti tidak bisa selalu tepat sasaran. Akan selalu ada
orang-orang yang ingin menikmati bantuan walaupun sebenarnya tidak berhak.
Orang-orang ini akan berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan bantuan
tersebut. Semoga untuk selanjutnya Pemerintah bisa memikirkan cara yang lebih
baik dalam membantu orang-orang yang membutuhkan.
Comments
Post a Comment